Rahmat Nur: Bangsa Indonesia tidak dikalahkan dengan senjata, Kalah dengan fitnah dan pengkhianatan
0 menit baca
Jelajahisumut.com, Sejarah bangsa ini bukan sekadar deretan tahun dan pertempuran. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah kita hari ini. Dari Aceh hingga tanah Minangkabau, dari perjuangan Sultan Iskandar Muda hingga Tuanku Imam Bonjol, sejarah menuturkan satu pesan yang sama yaitu bangsa yang kuat tidak akan dikalahkan oleh senjata, tetapi akan runtuh bila diracuni oleh fitnah dan pengkhianatan.
Keteguhan Aceh yang Dihancurkan Fitnah, Aceh pernah menjadi negeri yang disegani dunia. Di bawah Kesultanan Aceh Darussalam, terutama masa Sultan Iskandar Muda (1607–1636), Aceh berdiri megah dengan armada laut yang menguasai Selat Malaka.
Namun ketika kolonialisme datang, Aceh menjadi benteng terakhir yang menolak tunduk. Perang Aceh (1873–1904) melawan Belanda menjadi simbol keteguhan umat dan keberanian yang nyaris tiada bandingnya di Nusantara.
Tapi sejarah tidak selalu berakhir dengan kemenangan. Aceh akhirnya bisa dikuasai bukan karena lemahnya pasukan, tetapi karena fitnah dan pengkhianatan yang menyusup di antara sesama. Belanda menebar isu, memecah kepercayaan antar pemimpin, dan mempermainkan hati rakyat dengan politik “pecah belah dan kuasai”. Dan akhirnya, Aceh yang tidak pernah tunduk oleh meriam dan peluru, runtuh oleh fitnah dari dalam.
Tuanku Imam Bonjol dan Tipu Daya Penjajah, Kisah serupa terjadi di tanah Minangkabau. Tuanku Imam Bonjol (1772–1864), ulama sekaligus pejuang, memimpin Perang Padri untuk menegakkan ajaran Islam dan melawan penjajahan.
Namun Belanda melihat celah: konflik antara kaum Padri dan kaum adat. Mereka masuk dengan licik, berpura-pura menjadi sahabat kaum adat, padahal ingin menanamkan kekuasaan.
Ketika Imam Bonjol menyeru persatuan, Belanda pura-pura mengajak berdamai.
Dalam “perundingan damai” itulah ia dikhianati dan ditangkap, lalu dibuang ke Manado hingga wafat di pengasingan.
Itulah pengkhianatan yang membungkam seorang pahlawan besar — bukan di medan perang, tetapi dalam meja tipu daya.
Dari Fitnah Zaman Penjajahan ke Fitnah Zaman Digital. Kini, berabad-abad setelah penjajah pergi, fitnah belum mati. Ia hanya berganti rupa — dari surat gelap menjadi komentar media sosial, dari bisikan penjajah menjadi ujaran di layar ponsel.
Dulu, Belanda menebar fitnah untuk memecah pejuang. Kini, sebagian dari kita menyebarkan fitnah dengan jempol sendiri.
Satu kalimat bohong di media sosial bisa memecah keluarga, menghancurkan reputasi, bahkan menimbulkan kebencian antar sesama anak bangsa.
Fitnah yang dulu datang dari musuh, kini datang dari kita sendiri tanpa disadari, tanpa tanggung jawab.
Berapa banyak orang yang dihujat tanpa bukti?, Berapa banyak nama yang dicemarkan karena kabar palsu?
Berapa banyak hubungan baik hancur karena satu unggahan yang belum tentu benar?
Itulah fitnah gaya baru, lebih halus, lebih cepat, dan lebih mematikan — karena menjalar melalui genggaman kita sendiri.
Peringatan dari Allah dan Sejarah
Allah telah mengingatkan dalam Al-Qur’an: “Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah: 191).
Ayat ini bukan hanya untuk masa lalu. Ia juga untuk zaman ini, zaman di mana “fitnah” tidak lagi menumpahkan darah di medan perang, tetapi menumpahkan kebencian di dunia maya.
Sejarah Aceh dan Imam Bonjol mengajarkan, “Kita akan kalah, bukan ketika musuh menyerang, tetapi ketika kita saling menuduh, saling mencurigai, dan saling menjatuhkan.”
Ajakan untuk Bangsa yang Pernah Teguh, Jika dahulu Aceh dan Minangkabau berdiri tegak karena iman dan persatuan, maka generasi kini harus mempertahankannya dengan cara yang sama dengan menjaga lisan dan jempol.
Mari kita hentikan budaya menyebar kabar tanpa tabayyun. Mari kita berhenti menulis komentar penuh amarah dan kebencian. Dan mari kita mulai menulis kata-kata yang menenangkan, mencerahkan, dan menyatukan.
Bangsa ini tidak butuh lebih banyak orang pintar yang saling menjatuhkan,
tetapi butuh lebih banyak orang jujur yang saling menguatkan.
Penutup: Jangan Ulangi Luka Sejarah Dari Aceh kita belajar tentang keberanian yang tak gentar. Dari Imam Bonjol kita belajar tentang ketulusan dalam perjuangan.
Dan dari keduanya kita belajar bahwa fitnah adalah api kecil yang bisa membakar negeri.
Jangan biarkan sejarah itu terulang di zaman digital. Karena kali ini, penjajahnya bukan lagi Belanda melainkan ego, amarah, dan jemari kita sendiri.
Mari berhenti menjadi penyebar luka,
dan mulailah menjadi pembawa cahaya.
Karena bangsa yang menjaga lisannya,
adalah bangsa yang akan dijaga oleh Allah dari kehancuran.
Oleh: Rahmat Nur, S.T.
ASN asal Bireuen, Kota Juang, Aceh, sekaligus mahasiswa (Tugas Belajar) Program Magister di STIE Bina Karya, Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara.