BREAKING NEWS

Ketika Warna Kulit Menjadi Batas Kemajuan: Luka Rasisme di Tanah Sendiri


Oleh: Rahmat Nur, ST ASN asal Bireuen, Kota Juang, Aceh, sekaligus mahasiswa (Tugas Belajar) program magister di STIE Bina Karya, Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

Jelajahisumut.com, Disebuah sudut kota kecil di Sumatera, seorang pemuda bernama Amir datang melamar kerja di sebuah perusahaan lokal. Ia membawa ijazah yang baik, pengalaman yang cukup, dan semangat untuk berkontribusi bagi daerahnya. Tapi saat ia menyebutkan asal sukunya, wajah pewawancara berubah datar. Senyum ramah menghilang, diganti dengan kalimat singkat: “Kami akan hubungi nanti.” Hari berganti minggu, dan telepon itu tak pernah datang.

Kisah Amir bukan satu-satunya. Ia mewakili ratusan, bahkan ribuan anak muda yang merasa terhenti bukan karena kurang kemampuan, tetapi karena prasangka. Di tanah yang katanya menjunjung persaudaraan, masih ada dinding tak kasat mata bernama rasisme lokal.

Luka yang Dianggap Biasa, Rasisme di negeri ini sering tidak tampak kasar. Ia bersembunyi di balik candaan tentang suku, logat yang ditertawakan, atau perlakuan berbeda di meja pelayanan publik. Kadang kita menertawakannya bersama, tanpa sadar sedang menertawakan luka saudara sendiri.
Padahal, setiap kali seseorang dijauhkan dari kesempatan karena asal-usulnya, daerah itu kehilangan satu potensi untuk maju.

Ketika sebagian warga merasa menjadi tamu di tanah sendiri, kepercayaan perlahan retak. Masyarakat menjadi terbagi, bukan karena perbedaan visi, tapi karena perbedaan identitas yang seharusnya menjadi kekayaan bersama.

Rasisme menghambat kemajuan daerah, tidak ada daerah yang bisa maju bila sebagian warganya tertinggal karena diskriminasi. Kemajuan membutuhkan keterbukaan, kolaborasi, dan kepercayaan.
Namun rasisme meracuni semua itu.

Anak muda yang seharusnya berinovasi, memilih pergi ke kota lain. Para pekerja berbakat menahan diri untuk berbicara karena takut dianggap “bukan dari golongan kita.” Dan pemimpin daerah kehilangan kesempatan melihat keberagaman sebagai sumber kekuatan.

Rasisme adalah racun halus yang mematikan perlahan bukan dengan menghancurkan dari luar, tetapi dengan mengikis semangat dari dalam.

Nilai Agama: Kesetaraan adalah Iman, Islam, dan semua agama yang hidup di negeri ini, telah menegaskan bahwa manusia diciptakan berbeda agar saling mengenal, bukan saling menindas.

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat: 13)

Ayat ini sederhana tapi mendalam: ukuran kemuliaan bukan warna kulit, bukan logat, bukan marga, tetapi ketakwaan dan kebaikan hati. Kemajuan sejati sebuah daerah bukan hanya diukur dari gedung tinggi atau jalan mulus, tetapi dari akhlak warganya yang memuliakan sesama.

Membangun Tanah yang Menyembuhkan, Kita bisa memulai perubahan kecil hari ini dengan tidak menilai seseorang dari nama belakangnya, dengan menghargai logat yang berbeda, dengan berhenti menyebarkan candaan yang menyinggung asal-usul orang lain. Sebab dari langkah kecil itulah rasa saling percaya tumbuh, dan daerah kita menemukan jalan menuju kemajuan yang sejati.

Kita mungkin tidak bisa menghapus masa lalu, tapi kita bisa menghentikan rantai kebencian hari ini. Karena kemajuan sejati lahir dari hati yang mau menerima, dan dari masyarakat yang percaya bahwa perbedaan bukan ancaman melainkan kekuatan. (Red), 
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image